Ka’bah, bangunan suci yang menjadi pusat kiblat umat Islam, memiliki sejarah panjang dan penuh dinamika dalam proses pembangunannya. Meskipun banyak yang mungkin berpikir bahwa bentuk Ka’bah yang ada saat ini adalah sama seperti ketika pertama kali dibangun, kenyataannya bangunan ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan perubahan. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A, dalam ceramahnya di Masjid Darul Hikmah, Makassar.
Menurut Dr. Yusran, ada lima momen penting dalam sejarah ketika Ka’bah direnovasi atau dibangun kembali. Pertama kali, Ka’bah dibangun oleh para malaikat, kemudian dibangun ulang oleh Nabi Ibrahim AS seperti yang tercatat dalam Al-Quran (Surah Al-Baqarah). Setelah itu, Ka’bah mengalami renovasi oleh kaum Quraisy, kemudian pada masa kekhalifahan Abdullah bin Zubair RA, dan terakhir di bawah pemerintahan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi yang terkenal dengan kekejamannya. Bahkan, Khalifah Harun Ar-Rasyid dari dinasti Abbasiyah pernah berniat untuk mengembalikan bangunan Ka’bah ke bentuk aslinya sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim AS. Namun, niat ini urung dilaksanakan karena Imam Malik bin Anas RA memperingatkan bahwa bisa jadi Ka’bah akan menjadi ajang permainan bagi setiap penguasa baru.
Renovasi dan pembongkaran Ka’bah bukanlah sekadar keputusan teknis atau estetis, tetapi memiliki alasan historis dan syariat yang mendalam. Kaum Quraisy, misalnya, membangun kembali Ka’bah setelah mengalami kerusakan akibat banjir besar dan kebakaran. Namun, karena keterbatasan dana, mereka tidak mampu membangun kembali Ka’bah sesuai dengan ukuran dan bentuk asli yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW ingin mengembalikan Ka’bah ke bentuk asalnya, beliau menahan diri karena khawatir akan menimbulkan fitnah di kalangan kaum Quraisy yang baru saja masuk Islam.
Dalam pandangan Dr. Yusran, tindakan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa dalam Islam, menolak mafsadat (kerusakan atau bahaya) harus didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat). Hal ini relevan dalam banyak konteks kehidupan, terutama ketika menghadapi situasi yang penuh dengan potensi konflik atau perselisihan. Rasulullah SAW, dengan kebijaksanaannya, lebih memilih untuk menjaga persatuan dan keharmonisan umat daripada melaksanakan tindakan yang, meskipun benar dan sesuai sunnah, berpotensi menimbulkan kebingungan atau perpecahan di kalangan kaum Muslim yang masih lemah imannya.
Kisah renovasi Ka’bah ini memberikan pelajaran penting bagi umat Islam mengenai pentingnya mempertimbangkan maslahat dan mafsadat dalam setiap tindakan. Kadang-kadang, mengalah dalam hal-hal yang bukan prinsip bisa menjadi jalan terbaik untuk menjaga persatuan dan keharmonisan umat. Lebih jauh, kisah ini mengingatkan kita akan semangat para sahabat dan ulama dalam menuntut ilmu dan menjaga ajaran agama meskipun harus menghadapi banyak rintangan.
Renovasi Ka’bah adalah cerminan dari perjalanan panjang umat Islam dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran Islam. Ini adalah salah satu contoh bagaimana prinsip-prinsip dasar Islam tetap diterapkan, bahkan dalam urusan bangunan fisik seperti Ka’bah. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari sejarah ini dan terus menjaga semangat persatuan dan keharmonisan dalam komunitas Muslim di mana pun kita berada.
Sumber: Ceramah oleh Dr. Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A di Masjid Darul Hikmah, Makassar