Kami Sadar: Perjalanan Iman yang Mengajarkan Kedekatan dengan Tuhan
Akhirnya, kami sadari satu hal yang begitu mendalam. Tuhan yang kami sembah di dua Tanah Suci, di bawah langit Makkah dan Madinah, adalah Tuhan yang sama dengan yang disembah di kampung halaman kami. Tak ada jarak yang membatasi-Nya, dan tak ada ruang yang bisa memisahkan kasih sayang-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dalam setiap langkah yang kami tempuh, dalam setiap hembusan nafas yang kami hirup, Dia selalu dekat.
Perjalanan ke Tanah Suci ini bukan sekadar wisata spiritual, melainkan pengalaman hidup yang mengajarkan lebih dari sekadar doa dan ibadah fisik. Di Makkah, kami merasakan bagaimana keagungan Allah meliputi segala. Melihat Ka’bah untuk pertama kalinya membuat hati bergetar, seolah-olah seluruh jiwa dihempaskan oleh rasa haru. Setiap langkah thawaf terasa seperti perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, meresapi makna kehidupan, menundukkan ego, dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Namun, setelah semua ini, kami sampai pada satu kesadaran penting: Tuhan yang sama ada di mana pun kami berada. Baik di Makkah, di Madinah, maupun di tanah air, Allah selalu hadir. Saat di Raudhah, ketika tangan kami menengadah memohon ampunan dan ridha-Nya, rasa damai menyelimuti hati. Tetapi, kami sadar, kedekatan itu tidak hanya milik momen di sana.
Setelah kembali dari perjalanan suci ini, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, hal yang paling penting bukan di mana kami berdiri atau berada, melainkan bagaimana hati kami terus terhubung dengan-Nya. Sujud yang terasa begitu khusyuk di hadapan Ka’bah, bagaimana bisa kami hadirkan di rumah? Saat di Tanah Haram, suasananya mendorong kami untuk lebih tunduk, lebih berserah, dan lebih dekat. Tapi, mampukah kami menjaga perasaan yang sama ketika kembali ke rutinitas sehari-hari?
Kami sadar, tantangan sesungguhnya ada di sini, di kampung halaman. Ketika hiruk-pikuk kehidupan kembali menyapa, di sinilah kami harus lebih istiqamah. Ketika hati sering terlena oleh urusan dunia, di sinilah kesabaran dan keteguhan diuji. Ibadah bukan hanya tentang ritual yang dilakukan di Tanah Haram, tapi tentang bagaimana kami menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran bahwa Allah selalu menyaksikan.
Allah tidak hanya hadir di tempat-tempat suci. Dia ada di dalam setiap langkah hidup kita, di dalam setiap nafas yang dihirup, di antara kesulitan dan kemudahan yang kita hadapi. Ketika di Raudhah, kami berdoa dengan begitu yakin, begitu pasrah. Kini, kami belajar bahwa keyakinan yang sama harus tetap ada saat kami berdoa di rumah, saat bersujud di tempat kerja, atau bahkan ketika berjalan di antara keramaian pasar. Yang penting adalah niat hati, keikhlasan dalam menjalani hidup ini untuk selalu mengingat-Nya.
Kami juga sadar bahwa ibadah bukan hanya tentang shalat dan doa. Ibadah ada dalam setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan niat yang benar. Memberikan senyum kepada orang lain, membantu mereka yang membutuhkan, atau bahkan sekadar menjaga kebersihan lingkungan bisa menjadi bentuk ibadah jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Semua aspek kehidupan bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya, selama hati kita selalu mengingat-Nya.
Perjalanan ini mengajarkan kepada kami bahwa istiqamah dalam ibadah adalah kunci. Istiqamah berarti konsistensi, artinya kita harus tetap berjalan di jalan-Nya, baik dalam suka maupun duka, baik di Tanah Suci maupun di kampung halaman. Ketika dihadapkan pada kesulitan, kami harus tetap berpegang teguh pada-Nya. Ketika mendapatkan kemudahan, kami harus tetap bersyukur dan tidak lupa untuk terus mendekat kepada-Nya.
Tidak mudah memang, tapi itulah jalan yang harus kami tempuh. Kadang-kadang, godaan dunia membuat kami terlupa. Namun, setiap kali kami ingat bahwa Allah selalu ada bersama kami, kami kembali sadar. Kami ingin hati kami terus terhubung dengan-Nya, di mana pun kami berada, kapan pun waktunya. Kami ingin menjadikan setiap langkah kami sebagai perjalanan menuju-Nya.
Di Tanah Haram, kami merasakan kedekatan yang luar biasa. Tapi sekarang kami tahu, kedekatan itu bukan soal tempat. Bukan soal langit Makkah atau lantai marmer di Madinah. Kedekatan itu ada di hati yang selalu mengingat-Nya, di hati yang selalu tunduk dan pasrah pada-Nya. Jika kami bisa menjaga hati seperti itu di kampung halaman kami, maka di situlah sesungguhnya makna sejati dari perjalanan ini.
Ya Allah, kuatkan kami untuk istiqamah dalam ibadah. Kuatkan hati kami agar tetap mengingat-Mu di setiap waktu dan tempat. Jadikan setiap langkah kami, baik di Tanah Suci maupun di tanah air, tetap menuju-Mu. Aamiin.