Pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, saya membuka mata dengan sedikit rasa kantuk yang masih menggantung. Cahaya matahari masuk perlahan melalui celah jendela kamar, menyorot lembut pada tirai yang bergoyang pelan diterpa angin. Saya duduk di tepi tempat tidur, merasakan detik-detik pertama dari hari yang baru. Ada keheningan yang menenangkan, seakan alam semesta memberi ruang pada saya untuk merenung.

Tiba-tiba saya teringat sebuah kalimat yang pernah saya baca dari perkataan seorang salaf: “Pagi hari kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga, padahal kami banyak berbuat maksiat kepada-Nya. Kami tidak tahu terhadap nikmat yang mana kami bersyukur. Terhadap kebaikan yang dimudahkan atau terhadap kejelekan (dosa-dosa yang ditutupi).”

Kalimat itu langsung menyentuh hati saya. Ada kebijaksanaan yang begitu dalam di dalamnya. Betapa sering saya bangun pagi dan menjalani hari tanpa menyadari betapa banyak nikmat yang diberikan kepada saya, bahkan saat saya mungkin tidak pantas untuk mendapatkannya.

Saya melangkah ke luar kamar, menuju dapur. Suara air mendidih di atas kompor mengiringi saya membuat secangkir kopi hangat. Pagi ini terasa berbeda. Pikiran saya dipenuhi oleh rasa syukur yang dalam dan kesadaran betapa saya sering mengabaikan kebaikan yang ada di sekitar saya. Nikmat kesehatan, nikmat masih bisa bangun di pagi hari, nikmat memiliki rumah untuk bernaung—semua itu adalah karunia besar yang seringkali terlupakan.

Saya duduk di teras rumah, menyeruput kopi perlahan, menikmati setiap tegukan. Aroma tanah basah yang tersisa dari hujan semalam tercium jelas, bercampur dengan wangi dedaunan yang segar. Pemandangan ini, sederhana namun menenangkan, membawa saya pada perenungan lebih dalam.

Saya teringat, betapa banyak dosa dan kesalahan yang mungkin saya lakukan dalam keseharian saya. Ada momen-momen ketika saya mungkin lalai, tergoda oleh hawa nafsu, atau tenggelam dalam kesibukan duniawi hingga melupakan kewajiban saya kepada Sang Pencipta. Namun di tengah semua itu, Allah tetap memberikan saya rezeki, perlindungan, dan kebahagiaan kecil yang seringkali saya anggap remeh. Rasanya seperti menerima hadiah dari seseorang yang selalu memaafkan kita, bahkan ketika kita tidak meminta maaf.

Saya merenung, kepada nikmat mana saya harus lebih dulu bersyukur? Apakah saya bersyukur atas nikmat kemudahan dalam menjalani hari-hari saya? Atau saya harus bersyukur karena dosa-dosa saya, keburukan-keburukan saya, ditutupi dan tidak dibuka di hadapan orang lain?

Betapa banyak kesalahan yang saya buat, yang mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu. Namun, saya tidak dipermalukan, saya tidak dihakimi, dan saya masih diberi kesempatan untuk berubah. Saya sadar, itu adalah salah satu bentuk kasih sayang-Nya yang luar biasa. Allah menutupi aib-aib saya, memberi kesempatan untuk bertaubat, memberi ruang untuk memperbaiki diri.

Pagi ini, saya merasa tergerak untuk lebih merenungi nikmat-nikmat yang sering kali luput dari perhatian saya. Betapa sering kita lupa bahwa nikmat terbesar mungkin bukan hanya apa yang terlihat oleh mata, seperti harta, kesehatan, atau kebahagiaan, tetapi juga nikmat yang tersembunyi—seperti terhindarnya kita dari hal-hal buruk, atau dosa-dosa kita yang tidak dipermalukan.

Mata saya tertuju pada bunga-bunga di halaman, yang mekar dalam keheningan. Setiap helai kelopaknya tampak sempurna, seolah-olah mereka tahu kapan harus membuka diri pada dunia dan kapan harus menunduk dalam kebersahajaan. Saya merasa malu. Seperti bunga itu, saya sering kali ingin menonjol, memperlihatkan diri di hadapan orang lain, tetapi lupa kapan waktu yang tepat untuk merendahkan hati.

Perasaan bersyukur mengalir deras dalam diri saya. Saya menyadari bahwa bahkan dalam kelemahan dan kekurangan, saya masih diliputi oleh kasih sayang yang tak terbatas. Allah memberikan saya kesempatan untuk terus mencoba, terus memperbaiki diri, meski saya seringkali jatuh dan tergelincir.

Saya ingat sebuah kisah dari masa kecil. Ayah pernah berkata kepada saya, “Nikmat itu seperti air, kalau kamu tidak memperhatikannya, kamu akan menganggapnya biasa. Tapi kalau suatu saat air itu hilang, barulah kamu merasakan betapa pentingnya ia.” Dulu, saya hanya mengangguk tanpa banyak berpikir. Tapi sekarang, di pagi yang hening ini, kata-kata itu terasa sangat nyata.

Betapa sering saya lupa untuk mensyukuri hal-hal kecil. Udara yang segar, napas yang masih berjalan lancar, keluarga yang masih ada, bahkan kenyataan bahwa saya bisa duduk di sini, menikmati secangkir kopi dengan tenang. Bukankah ini semua adalah nikmat yang luar biasa?

Saya menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk memulai hari ini dengan cara yang berbeda. Saya ingin lebih peka, lebih sadar, dan lebih bersyukur. Bukan hanya terhadap nikmat-nikmat besar yang tampak jelas, tetapi juga terhadap nikmat kecil, bahkan terhadap kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan dosa.

Pagi ini, saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih banyak bersyukur. Terhadap semua nikmat yang tampak, dan juga terhadap semua aib yang Allah tutupi. Karena di balik setiap pagi yang datang, ada cinta dan rahmat yang tiada habisnya, meski kita sering kali tidak menyadarinya.

Dan mungkin, justru dalam kesadaran inilah letak nikmat yang sebenarnya.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *