Mekkah Al-Mukarramah, 13 Juni 2025 – Oleh Ustadz Budi Marta Saudin
Dalam beberapa waktu terakhir, umat Islam di Indonesia dihebohkan dengan beredarnya potongan video dari Dr. Erwandi Tarmizi, seorang pakar ekonomi syariah dan doktor fikih muamalat lulusan Universitas Islam Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh. Dalam video tersebut, beliau menyatakan bahwa haji tidak lagi wajib bagi warga negara Indonesia (WNI) saat ini.
Pernyataan ini menuai beragam reaksi dari publik. Sebagian menerima dengan pemahaman syar’i yang mendalam, sebagian lainnya menanggapi dengan kebingungan, bahkan tidak sedikit yang menyanggah keras. Artikel ini mencoba menyajikan secara objektif argumen, konteks, serta catatan penting dari fatwa tersebut.
1. Dalil Dasar: Mampu adalah Syarat Wajib Haji
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
(QS. Ali ‘Imran: 97)
Kata kunci dalam ayat ini adalah “mampu”, yang tidak hanya bermakna finansial, tetapi juga kemampuan fisik, keamanan, dan kesempatan.
Dr. Erwandi menyatakan bahwa masa tunggu antrian haji yang sangat panjang—bahkan hingga 30–50 tahun—telah menghilangkan aspek “kemampuan” tersebut. Menurutnya, jika seseorang baru bisa berangkat setelah usia lanjut atau bahkan wafat sebelum dapat giliran, maka secara syar’i kewajiban haji gugur darinya.
2. Fatwa Berdasarkan Konsultasi Ulama Internasional
Beliau menyampaikan bahwa pandangan ini bukan opini pribadi semata, melainkan hasil diskusi dan konsultasi dengan para ulama di Saudi, termasuk rekannya yang menjadi konsultan syariah di Bank Al Rajhi.
Dari mereka, beliau mendapat penguatan bahwa ketidakmampuan karena sistem kuota dan antrian panjang termasuk dalam udzur syar’i yang menggugurkan kewajiban haji.
3. Kritik terhadap Sistem Dana Talangan Haji
Salah satu penyebab utama antrian panjang adalah maraknya praktik dana talangan haji, di mana seseorang “memesan kursi” dengan uang pinjaman, lalu melunasinya setelah mendapat antrean.
Menurut Dr. Erwandi, dana talangan haji hukumnya haram karena mengandung unsur riba dan gharar (ketidakpastian). Beliau telah membahas hal ini secara rinci dalam bukunya, Harta Haram Muamalat Kontemporer.
4. Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dr. Erwandi menegaskan bahwa kesalahan ini bukan pada rakyat, melainkan pada penyelenggara negara. Menurut beliau, dosa atas hilangnya kesempatan berhaji ditanggung oleh para pengelola sistem yang tidak berlandaskan pada hukum Islam.
Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa carut-marut sistem penyelenggaraan haji ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman syariah di kalangan pembuat kebijakan.
5. Sikap terhadap Haji Furoda, Ziyarah, dan Dakhili
Sikap Dr. Erwandi terhadap berbagai jalur “haji cepat berangkat” pun sangat tegas:
- Haji Furoda: Disebut sebagai “judi gaya baru”, karena sangat spekulatif. Besar kemungkinan seseorang gagal berangkat setelah membayar mahal.
- Haji Visa Ziyarah & Dakhili: Disebut sebagai “permainan kucing-kucingan” yang tidak sesuai etika ibadah. Karena status mukim atau visa kunjungan tidak bisa dijadikan jalan resmi berhaji.
Beliau mengkritik keras penyalahgunaan sistem dan menyebut bahwa menggunakan jalur tidak resmi adalah bentuk pelanggaran terhadap niat suci ibadah haji.
6. Haji Khusus dan Praktik Riba
Tak hanya haji reguler, Dr. Erwandi juga mengkritisi haji khusus yang umumnya juga menggunakan sistem pembayaran dengan akad yang tidak bersih dari unsur riba.
Menurutnya, akad riba dan spekulasi di dalam pengelolaan haji membuat ibadah ini tercemar dan jauh dari maqasid (tujuan) syariah. Bahkan ia menyatakan, “Saya bertanggung jawab mengatakan bahwa haji bagi orang Indonesia saat ini tidak wajib.”
7. Solusi: Umrah Ramadhan sebagai Alternatif
Sebagai solusi realistis, beliau menyarankan agar umat Islam di Indonesia memprioritaskan umrah di bulan Ramadhan. Berdasarkan hadits shahih, Nabi ﷺ bersabda:
“Umrah di bulan Ramadhan setara (pahalanya) dengan haji.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut beliau, umrah Ramadhan:
- Pasti bisa berangkat.
- Tidak mengandung unsur riba.
- Tidak perlu menunggu puluhan tahun.
- Mendapat keutamaan seperti haji (dari sisi pahala, bukan gugurnya kewajiban).
8. Catatan Kritis: Fatwa yang Tidak Mengikat
Sebagaimana fatwa-fatwa pada umumnya, pendapat ini bukanlah hukum qath’i (mutlak), melainkan ijtihad yang terbuka untuk disetujui maupun ditolak.
Fatwa ini tidak bersifat mengikat secara mutlak terhadap seluruh muslim Indonesia, tapi menjadi opsi pemikiran fiqih baru untuk menyikapi realitas yang pelik dan sistemik.
9. Dr. Erwandi: Independen dan Berani
Perlu dicatat, Dr. Erwandi bukan bagian dari biro travel, lembaga haji, maupun promotor umrah, sehingga fatwa beliau ini tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis.
Beliau tidak memanfaatkan posisi akademiknya untuk menawarkan jalur haji alternatif seperti furoda, dakhili, atau visa ziyarah. Justru, semua jalur ini beliau kritik keras.
Inilah salah satu nilai penting dari seorang ulama independen: berani menyuarakan kebenaran meskipun tidak populer.
Kesimpulan: Telaah, Bukan Emosi
Pernyataan bahwa “haji tidak wajib bagi orang Indonesia saat ini” tentu mengagetkan sebagian orang. Tapi penting bagi kita untuk tidak langsung menolak atau mencaci, melainkan menelaah secara ilmiah dan syar’i.
Semoga Allah memberikan kita taufik untuk memahami ilmu agama dengan hati lapang, serta memperbaiki sistem ibadah di negeri ini agar semakin sesuai dengan tuntunan Islam yang lurus.
Tamam Travel – Sahabat Perjalanan Ibadah Anda
Di tengah tantangan berhaji saat ini, Tamam Travel tetap berkomitmen mendampingi umat dalam menempuh ibadah yang syar’i, aman, dan nyaman. Kami menghadirkan solusi perjalanan umrah Ramadhan, serta pembekalan ilmu sebelum berangkat agar perjalanan Anda tak sekadar fisik, tapi penuh makna.
📌 #FatwaHaji #ErwandiTarmizi #HajiIndonesia #HajiFuroda #UmrahRamadhan #TamamTravel #PerjalananBermakna