Mengajari orang tua, terutama ibu, dalam hal ibadah, bisa menjadi tantangan tersendiri. Ada cerita menarik mengenai seorang anak yang kesulitan mengajarkan ibunya membaca Al-Qur’an. Ibunya belum lancar dalam membaca, dan sering membuat kesalahan fatal. Sang anak, meski dengan niat baik, terkadang merasa frustasi karena ibunya sering menganggap bahwa koreksinya berlebihan.

Ibu tersebut memiliki watak keras, dan setiap kali anaknya mengoreksi kesalahan dalam membaca, sering terjadi perdebatan. Sang ibu merasa anaknya terlalu berlebihan dalam hal yang seharusnya sederhana, seperti memanjangkan huruf atau mengatur tajwid yang benar. Di sisi lain, anak takut akan marah dan membuat suasana menjadi tidak baik.

Akhirnya, sang anak memutuskan untuk tidak lagi mengajari ibunya, dan menyarankan agar sang ibu belajar dengan guru lain. Tindakan ini memicu pertanyaan, apakah benar tindakan tersebut sudah tepat?

Seorang ustadz memberikan jawaban yang bijak: kadang, orang tua lebih mudah menerima arahan dari orang lain dibandingkan anaknya sendiri. Bukan karena anaknya salah, tapi karena di mata orang tua, anak tetaplah anak. Ada contoh nyata dari Imam Abu Hanifah, salah satu imam mazhab besar, di mana ibunya lebih memilih mendengarkan jawaban dari orang lain daripada dari anaknya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu berkecil hati ketika orang tua lebih nyaman belajar dari orang lain.

Yang terpenting adalah kesabaran kita sebagai anak. Ujian sebenarnya dalam hal ini bukanlah seberapa baik kita bisa mengajarkan, tapi seberapa sabar kita dalam menghadapi orang tua. Kesabaran inilah yang menunjukkan bakti kita kepada mereka.

Jika orang tua merasa lebih nyaman belajar dari orang lain, tak perlu merasa tersinggung. Kita harus tetap mendukung dan memberi yang terbaik tanpa merasa marah atau kesal. Ini adalah ujian kesabaran dan pengabdian yang sejati.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *